/* Start http://www.cursors-4u.com */ body, a:hover {cursor: url(http://cur.cursors-4u.net/anime/ani-12/ani1155.ani), url(http://cur.cursors-4u.net/anime/ani-12/ani1155.gif), progress !important;} /* End http://www.cursors-4u.com */ Luffy Stretching Arms

Pages

right under or

Sunday, May 5, 2013

Yakin dengan Keputusan, Membuat Hatiku Terasa Perih



Kembali aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Mungkin perasaanku saja, ujarku dalam hati. Ku lirik jam tangan ku yang menunjukan jam setengah 6 sore, pantas keadaan parkiran sudah sepi. Hanya ada beberapa motor yang masih setia menunggu majikannya untuk pulang. Aku sendiri baru selesai dari ekskul ku yaitu PASMUNSA. Sebenarnya belum selesai, hanya saja aku izin pulang lebih awal. Mood ku dari tadi pagi sedang tidak bagus, ditambah cuaca hari ini yang selalu mendung.

Aku tersenyum ketika melihat motor kesayangan ku dari kejauhan. Waktunya pulang, batinku lirih. Kulangkahkan kaki menuju motor matic ku. Tak sampai 5 langkah, aku menghentikan langkah ku. Mereka benar-benar lupa… Rasanya aku ingin menangis saja. Kenapa mereka semua bisa lupa hari ulang tahun ku? Bahkan Hafidz pun juga tidak ingat. Aku sengaja tidak mengatakan apa-apa kepada mereka tadi pagi. Aku masih menunggu hingga mereka sadar, bahwa temannya yang satu ini sedang merayakan hari kelahirannya. Tapi, segitu buruk kah ingatan mereka? Ingin sekali aku berteriak di parkiran ini.

Dengan kesal, aku berjalan secepat mungkin menuju motorku. Lebih baik pulang, tiduran di kamar sambil membaca novel. Lupakan hari ulang tahun ku!! Namun langkah itu mulai terdengar kembali. Siapa? Apakah penguntit? Tanpa sadar aku mulai sedikit berlari, dan langkah itu pun juga terdengar sedang berlari mengejarku. Tunggu. Kenapa aku mendengar langkah kaki banyak orang? Jangan-jangan aku akan dikeroyok. Oh tuhan, lindungilah aku.

Karena penasaran, ku beranikan diriku untuk menoleh ke belakang secepat mungkin, melihat apa yang terjadi sebenarnya. Dan sedetik kemudian aku merasa butiran-butiran putih mengenai seluruh tubuhku. Lalu disusul dengan cairan kuning mengenai rambutku. “Happy Birthday Agnes,” ujar mereka serempak lalu tertawa terbahak-bahak.

Kulihat Sonia, Della, dan Icha sedang membawa sisa-sisa tepung, yang tentu saja juga mengenai baju mereka walau tidak sebanyak aku. “Oh shiiitt.. Kalian gila apa?” teriakku kesal walau hati kecil ku merasa senang. Senang karena mereka ingat aku.

“Ya ampun, gitu aja ngambek. Sini gue kasi lagi,” Adhyt lalu melemparkan telur ke kepala ku dan semua kembali tertawa. Aku hanya bisa menunduk, membiarkan cairan kuning itu jatuh ke tanah. Dan tidak lama kemudian aku melihat Angga membawa seember air. Buru-buru aku lari, namun ditahan oleh Sonia dan Icha. Dan jadilah kami bertiga terkena air.

“Ya Angga, kenapa gue jadi kena sih? Ini kan air bekas pel Pak Nubi. Sialan lo!” rengek Sonia lalu melempar tepung yang tersisa kearah Angga. Angga pun mencoba untuk menghindar. Aku tertawa melihat mereka. Mereka bener-bener pasangan yang serasi.

Dan entah dari mana, Della tiba-tiba membawa blackforest yang berisi angka 16 kehadapan ku. “Make a wish dulu donk, Nes.”

Aku mulai memejamkan mata untuk berdoa. Ku buka mata secara perlahan sambil menatap satu persatu teman sekelas ku di X6. Sonia, Angga, Icha, Della, Adhyt, dan.. “Hafidz mana?” tanya ku polos.

Kulihat raut wajah mereka berubah. Lalu Icha menyela, “Hafidz lagi nganter Tari ke toko buku. Lo tau lah Tari, ee.. dia anak baru,” Kulihat Icha sejenak ragu-ragu. “Bu Sepka tadi nyuruh Hafidz buat nemenin Tari beli buku pelajaran.”

“Oh,” Hanya itu kata yang keluar dari mulut ku. Kupaksakan untuk tersenyum. Melihat perubahan ekspresiku, Adhyt yang memang terkenal jahil mulai melumuri wajahku dengan krim yang ada di kue, lalu disusul oleh Icha. Tak mau kalah, aku langsung membalasnya. Selang beberapa menit, kami berenam sudah menjadi badut amatiran yang wajahnya dipenuhi krim.
***
Hafidz . Nama yang sudah tak asing lagi di telinga ku. Selain letak rumah yang bersebelahan, kami juga selalu satu sekolah bahkan sekelas. Dimana ada Hafidz, selalu ada aku. Aku seperti menemukan sosok kakak di dalam diri Hafidz, karena aku sendiri anak bungsu yang tinggal sama ortu setelah saudara-saudaraku telah memiliki keluarga masing-masing. Menjadi anak bungsu memang mengasyikan. Semua perhatian Mama dan Papa tercurah untuk ku. Namun hidup bungsu tanpa saudara di rumah juga sangat menyedihkan malah membosankan. Tapi, selama ada Hafidz yang selalu disamping ku, hidup menjadi anak bungsu yang tinggal sendiri seperti anak tunggal tidak masalah.

Sejenak aku memejamkan mata, mencoba mengingat kejadian tadi sore. Yang terlintas dibenak ku hanya lah Tari. Murid pindahan yang seminggu terakhir mencuri perhatian teman-teman sekelas. Ya, dia cantik dan modis. Dan tak butuh waktu lama, aku yakin Tari akan menjadi salah satu deretan siswi populer di SMA Negeri 1 Curup.

Aku kembali membuka mata. Kulirik foto yang terpajang manis di meja belajarku. Foto dua anak SD yang sama-sama membawa balon. Aku masih ingat, saat itu hari ulang tahun Hafidz yang ke-10. Mama Hafidz atau biasa ku panggil Tante Nana ngotot untuk menggambil foto kita berdua. Untuk kenang-kenangan katanya.

Alunan lagu Only Hope milik Mandy Moore terdengar dari meja belajarku. Dengan malas aku bangkit dari tempat tidur. Siapa sih yang nelpon malam-malam? Dengan kesal ku tekan salah satu tombol di HP, tanpa melihat nama yang tertera di layar. “Halo,” sapaku enggan.

“Akhirnya diangkat juga. Nes, buruan ke balkon sekarang.” ujar seseorang yang aku kenal. “Jangan lupa pakek jaket, dingin banget disini. Gue tunggu, Nes.”

Belum sempat aku menjawab, telepon sudah di tutup. Sialan Hafidz. Aku yang masih binggung atas ucapanya buru-buru membuka lemari mencari jaket tebalku. Tak butuh waktu lama, aku sudah berdiri di balkon kamarku yang bersebelahan dengan balkon kamar Hafidz. Kamar ku dan kamar Hafidz sama-sama ada di lantai atas.

“Lo belum tidurkan?” tanya Hafidz dari balkonnya. Ku lihat Hafidz menggunakan kemeja putih dan celana jeans hitam yang membalut tubuh atletisnya. Sepertinya ia baru pulang.

“Belum lah, masih jam 9 juga. Lo sendiri baru pulang?”

“Iya. Tadi gue nganter Tari beli buku. Capek banget, Nes. Nggak nyangka kalo si Tari suka baca novel sama kayak lo.“ Ku lihat Hafidz tersenyum gembira. Belum pernah aku melihat ia sebahagia ini. Lalu ia menceritakan kejadian-kejadian yang lucu di toko buku. Aku hanya menanggapi dengan kata-kata singkat seolah aku menyimak cerita Hafidz. Walau sebenarnya aku tidak mendengarkan apa-apa.

Ada sesuatu yang mengganjal. Aku menerawang ke bawah melihat jalanan, yang tentu saja sepi. Jalan di kompleks perumahan kan tidak seramai jalan raya.

“Nes? Halo… Agnes? Agneeesss… Lo denger nggak sih?” Panggilan Hafidz membuyarkan lamunan ku.

“Apa? Eh maksud gue, gue denger kok,” ucapku terbata-bata.

Hafidz mendengus. “Gue tau lo nggak denger omongan gue. Lo lagi mikirin apa sih?

“Kita balik ke setahun yang lalu ya?” ujarku tiba-tiba.

Hafidz terlihat bingung.

“Kita pacaran sampai sini aja. Lagian lo sama gue lebih cocok buat sahabatan. Entah kenapa gue rindu Hafidz yang dulu. Hafidz yang selalu ngejek gue jelek, Hafidz yang selalu bandingin gue sama cewek-cewek populer waktu SMP, sampai Hafidz yang selalu bangunin gue kalo gue telat bangun. Semenjak kita pacaran, rasanya ada yang berubah dalam diri kita.” Sejenak aku memejamkan mata untuk mengatur emosi. “Lo mau kan kalo kita sahabatan lagi?” tanya ku ragu.

Ku lihat Hafidz terkejut mendengar ucapanku. Biarlah. Jujur, setelah aku dan Hafidz pacaran, aku melihat perubahan sikap diantara kami. Seolah-olah ada tembok besar disekitar kami. Kami tidak dapat tertawa lepas seperti dulu saat SMP. Selalu ada sesuatu yang mengikat, mengingatkan bahwa kita tidak hanya berteman. Suatu komitmen yang bernama pacaran. Tapi aku sadar semenjak Tari masuk ke kelasku, aku merasa Hafidz tertarik pada gadis itu. Dan itu membuat aku muak. Aku kangen sama Hafidz, teman kecil ku.

“Kalo itu mau lo, gue terima. Asalkan kita bisa sahabatan lagi kayak dulu. Jangan gara-gara masalah ini, kita jadi diem-dieman.” ujar Hafidz lirih.

“Ya udah, gue duluan balik ke kamar ya. Dingin banget disini.”

Belum sempat aku melangkah, Hafidz sudah menahanku dan menyuruhku menangkap sesuatu yang dilemparnya. Untung kali ini aku bisa menangkapnya dengan tepat.

“Happy birthday Agnes. Maunya ngucapin satu tahunan kita jadian. Tapi kita kan baru aja putus. Gue doain semoga persahabatan kita langgeng sampai tua nanti.”
 
Aku hanya tersenyum lalu buru-buru masuk ke kamar. Ku hempaskan diriku ke tempat tidur. Perlahan kubuka hadiah Hafidz yaitu sebuah kotak kecil bermotif strawberry, buah kesukaan ku. Dalam kotak terdapat kalung berbandul separuh hati dan sebuah kertas kecil.
“Happy birthday peri kecilku dan happy 1st anniversary buat hubungan kita.
PS : Moga lo seneng ama tu kalung

Kurasakan butiran kristal jatuh dari pelupuk mataku, buru-buru aku hapus dengan tangan. Namun semakin aku berusaha, butiran itu semakin banyak. Ya Tuhan… Aku yakin akan keputusan ku. Tapi kenapa hati ku terasa perih?

Malam semakin larut. Namun seseorang masih terpaku, terdiam di balkon kamarnya sambil menatap balkon yang baru saja di tinggal pergi oleh pemiliknya. Pemilik yang bernama Agnes Tria Susanti. Teman kecilnya.
***
“Agneeess……!”

“Saya Pak! Saya Pak!” teriakku tak karuan. Mata ku mencoba melihat sekililing. Menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, ini kan kamarku? Lalu…

“Ouch shittt! Gue kira apa. Gila lo, Fidz. Ngapaen lo disini?” ujar ku kesal. Ku tarik selimut untuk menutupi tubuhku. Berniat melanjutkan mimpi ku yang tertunda gara-gara teriakan mahluk aneh ini.
Hafidz tertawa. “Ya ampun, dasar putri tidur. Buruan lo bangun, ini udah jam 10 pagi. Masa cewek males gini?” Hafidz menarik selimut ku lalu ditaruhnya di sofa.

“Hafidz!! Selimut gue balikin. Lagian ngapain juga bangun pagi? Ini tuh masih LIBURAN. Tahun ini kita kelas tiga, pasti belajar mulu kerjaannya. Kasi donk gue nikmatin liburan gue.” Jelas ku panjang lebar.

Ku dengar tawa Hafidz makin keras, seolah-olah mengganggu tidurku adalah hal terlucu di dunia ini. Aku hanya bisa pasrah. Beberapa bulan telah berlalu sejak hari itu. Hari dimana aku putus dengan Hafidz. Seperti yang kuduga, setelah kejadian itu hubungan kami kembali seperti SMP dulu. Dimana kami sering mengejek satu sama lain. Hafidz kembali pada hobby-nya yang senang melihat aku menderita. Dan aku kembali pada hobby lama ku, sering merecoki dia dengan kalimat panjang lebar.

“Cerewet banget sih,” rutuk Hafidz. “Buruan lo mandi, kita ke toko buku sekarang. Hari ini terakhir diskon lho. Katanya mau cari novel?” Aku melirik sebal kepadanya. Hafidz menghampiri aku, lalu dengan gemas Hafidz mengacak-acak rambut ku.

“Bilang aja lo mau beli komik. Pakek alasan gue beli novel lagi. Muna lo! Dari mana lo tau kalo diskonnya masih?” Kata ku sambil merapikan rambut ku yang berantakan.

“Icha yang ngasi tau. Terserah mau percaya atau nggak. Yang penting lo buruan mandi.” Lalu Hafidz pergi ke arah meja belajar untuk melihat koleksi novelku. Aku terkadang heran dengan Hafidz. Untuk ukuran cowok tinggi yang jago main basket, masa sih dia masih doyan baca komik. Apalagi komik favoritnya Detektif Conan. Benar-benar deh si Hafidz.

“Hafidz cakep, dengerin gue ya. Gue sih udah dari tadi mau mandi. TAPI GIMANA CARANYA GUE MANDI KALO LO MASIH BERKELIARAN DI KAMAR GUE???” Dan tak butuh waktu lama, bantal-bantal di tempat tidurku sudah melayang ke wajah Hafidz. Kulihat Hafidz mencoba menghindar dari serangan bantal-bantal sambil tertawa, lalu keluar dari kamarku.

Dilihat dari mana pun, kami memang hanya cocok untuk sahabatan. Setidaknya untuk saat ini. Aku tersenyum dan beranjak pergi dari tempat tidurku. Bersiap-siap untuk pergi ke tempat favorit kami. Dimana lagi kalo bukan toko buku. :D
***

No comments:

Post a Comment