Film ini menceritakan tentang kisah nyata setelah warga Jakarta dihebohkan kasus meninggalnya seorang bocah 8 tahun bernama Arie Hanggara akibat penyiksaan orang tuanya. Media massa meliput penuh gempita kabar ini.
Film ini berkisah tentang seorang penganggur kelas berat bernama Tino
Ridwan (Deddy Mizwar). Sifatnya yang pemalas, tukang janji kelas kakap,
dan pembuat anak yang kuat menyebabkan saudara dari pihak istrinya
menggunjinginya sebagai pejantan yang hanya kuat membuat anak.
Karena tak punya kerjaan dan disertai dengan harga diri yang tinggi,
sementara Jakarta meminta terlalu banyak, bersiteganglah si Tino dengan
istrinya. Sang istri kembali ke Depok dan Tino menitipkan anak-anaknya
ke rumah neneknya untuk kemudian diambil lagi sewaktu dia sudah hidup
bersama dengan pacarnya, Santi (Joice Erna) secara kumpul kebo.
Di rumah kontrakan kecil ini hiduplah lima orang manusia. Tino dan
Santi serta tiga anak Tino dari istri pertamanya: Anggi (tertua), Arie,
dan Andi (si kecil).
Tino sadar betul dengan profesinya sebagai penganggur. Dia pun
sehabis mengantar istri ke kantor, dia melamar kerja di sana dan di
sini. Tapi tidak dapat-dapat juga. Teman-teman dihubungi, tapi semuanya
menolak. Padahal di rumah rokoknya terus mengebul dan omongannya juga
besar.
Santi sudah mulai cerewet, kerja tidak didapatkan juga, anak-anak di
rumah kian membandel saja. Oleh karena ini semua Tino selalu menetapkan
aturan yang keras kepada anaknya. Apa saja harus diatur. Tapi Arie
Hanggara, si anak kedua ini, selalu membandel dengan aturan ini. Wajah
Yan Cherry Budiono yang memerankan Arie ini memang wajah memelas.
Sosoknya pendiam. Tapi diamnya Arie adalah diam yang meresahkan Tino.
Tino sebetulnya sayang dengan anak ini. Santi demikian juga adanya.
Namun Santi mulai cerewet dan menyindir-nyindir Tino atas kenakalan
anak-anaknya. Lama-lama dia mulai jengkel, terutama kepada Arie.
Mula-mula kalau semuanya berkumpul di meja makan malam hari, Tino sudah
memperingati dan memaklumkan aturan supaya jangan nakal dan jangan
nakal.
Akan tetapi Arie Hanggara tetap membandel dengan aturan itu. Awalnya
dipukuli, Arie masih mengaduh, tapi lama-lama anak ini menjadi adiktif
dan seperti meminta untuk dihukum. Lantaran takut melanggar, Arie sering
berbohong.
Di sekolah, Arie jadi pendiam, asosial, dan jadi senang mengincar dompet teman-temannya. Maka jadi bulan-bulananlah dia.
Karena merasa sakit perilaku Arie sudah tak bisa diobati di sekolah
SD Negeri, Tino pun berencana membawa si Arie ke pesanntren di Jawa
Timur.
Tapi sayang sebelum dia dibawa ke pesantren, dia harus melakukan
kesalahan lagi. Tapi kali ini kesalahan kakaknya. Tapi Arie mengaku
bahwa dialah yang melakukannya. Bahkan dia minta digantung saja atau
tangan diikat saja supaya tak nakal lagi. Sementara Arie diikat, dua
saudaranya yang lain memberinya makan diam-diam.
Tugas Arie di hari kedua sebelum kematian adalah membersihkan kamar
mandi. Tapi Arie malas-malasan. Arie dipanggil. Arie maju ke hadapannya.
Bergeraklah tangan si Tino penganggur ini ke pantat. Dihukumlah anak
ini berdiri jongkok. Kakak dan adiknya melihat Arie yang
terhuyung-huyung ngantuk sambil memeluk lutut di lantai menjalani
hukuman yang mestinya tak boleh ditanggungnya. Ia tak boleh makan, adik
dan kakaknyalah yang diam-diam memberinya biskuit. Tatkala mereka
menawarkan diri memberi Arie minum, Arie menolak. Dan malapetaka itu pun
terjadi.
Santi pada malam malapetaka dan besoknya Arie dan Tino akan berangkat ke Jatim
itu masih manis menasehati Arie untuk minta maaf saja dengan Tino,
ayahnya. Tapi Arie tak melakukannya, malah dibilangnya pada ibu tirinya
itu, dia lebih baik dihukum terus saja. Maka menyambarlah tangan Santi
yang mendorong Arie ke dinding. Tino berdiri dan menggampar pantat kecil
anak malang ini sementara Santi duduk sambil menjahit di ruang makan.
Mata Arie yang lebam kebiruan memandang sendu bapaknya. Tak tahan
memandang mata anak itu, diambilnya tongkat sapu. Diganyangnya pantat
itu dengan pukulan bertalu-talu. Menjeritlah Santi melihat ulah Tino.
Anak ini tidak mau lagi menangis. Menatap bapaknya dengan sangat tajam,
tapi raut wajah dingin yang mengerikan. Lalu dengan kesal dan kalap satu
tamparan keras menghantam pipi kiri Arie dan terjungkallah ia ke
lantai. Lalu Tino memberinya air minum. Arie tetap di dekat tembok
menjalani hukuman. Mereka sempat pelukan dan suara Tino sudah mengendur.
Mungkin capek menghadapi sikap Arie yang dingin, patuh, tapi kepatuhan
yang melawan. Dan Arie minta minum lagi. Tapi Tino mengancam, setelah
dia diberi minum, tidak boleh lagi minum tanpa seizinnya. Arie pun
dengan datar berjanji untuk tak minum lagi.
Mungkin karena jiwa anak ini sudah mau bunuh diri di tangan ayahnya
sendiri, dia melanggar lagi sabda si penganggur ini. Dia mengambil air
minum, tapi gesekan gelasnya didengar oleh Tino. Tino bangun dan lupa
bahwa mereka besok mau ke pesantren. Dia kalap. Arie, anak malang ini,
harus menjadi santapan kemarahan jam dua dini hari itu. Tak ada
teriakan. Tak ada rintihan. Tak ada apapun keluar dari mulut anak yang
sudah mencium bau kematian sejak 6 November ini yang bahkan satu jam
sebelum kematiannya dia sudah berpesan kepada dua saudaranya bahwa ia
akan pergi dengan sangat jauh. Arie terjatuh di lantai. Paniknya Tino
dan Santi subuh itu melihat anak itu dan membawanya ke RS dalam kondisi
yang sebetulnya sudah tak bernyawa.
Ada raut sesal berkecamuk di hati Tino. Matanya bersimbah air mata
melihat Arie terbujur kaku di atas ranjang roda berkain putih yang
ditarik perawat putih-putih menuju dunia putihnya. Tapi apa boleh buat.
Arie sudah tiada. Arie, si anak malang yang sudah mencium bau
kematiannya itu meninggal di dinding penghukumannya.
Lalu koran-koran ibukota terbit sore pun menulis dengan besar di
halaman depan kematian tragis bocah malang Arie Hanggara. Arie adalah
korban dari perceraian orang tuanya.
No comments:
Post a Comment