“Sahabat selalu ada disaat
kita membutuhkannya, menemani kita disaat kita kesepian, ikut tersenyum disaat
kita bahagia, bahkan rela mengalah padahal hati kecilnya menangis…”
***
Bel istirahat akan berakhir berapa menit lagi. Aku harus segera membawa buku
tugas teman-temanku ke ruang guru sebelum bel berbunyi. Jabatan ketua kelas
membuatku sibuk seperti ini. Gubrak…. Buku-buku yang dibawaku jatuh semua.
Orang yang menabrak entah lari kemana. Jangankan menolongku, meminta maaf pun
tidak.
“Sial! Lari nggak pakek mata apa ya...” rutukku. Dengan wajah masam aku mulai jongkok untuk merapikan buku-buku yang terjatuh. Belum selesai Aku merapikan terdengar langkah kaki yang datang menghampiriku.
“Kasian banget. Bukunya jatuh semua ya?” cemoh seorang cowok dengan senyum sinis. Sejenak Aku berhenti merapikan buku-buku, Aku mencoba melihat orang yang berani mencemohku. Ternyata dia lagi. Cowok berpostur tinggi dengan rambut yang selalu berantakan. Sumpah! Aku benci banget sama cowok ini. Seumur hidupku nggak bakal bersikap baik sama cowok yang ada di depanku ini. Lalu Aku mulai melanjutkan merapikan buku tanpa menjawab pertanyaan cowok tersebut.
Cowok tinggi itu sepintas mengernyitkan alisnya. Dan kembali ia tercenung karena cewek di depannya tidak menanggapi. Biasanya kalau Aku terpancing dengan omongannya, perang mulut pun akan terjadi dan takkan selesai sebelum seseorang datang melerai.
Teeeett… Bel tanda berakhirnya jam istirahat terdengar nyaring. “Maksud hati pengen bantu temen gue yang jelek ini. Tapi apa daya udah keburu bel. Jadi sori nggak bisa bantu.” ucap cowok tersebut sambil menekan kata jelek di pertengahan kalimat.
Cowok tersebut masih menunggu reaksi cewek yang ada di depannya. Tapi yang ditunggu tidak membalas dengan cemohan atau pun ejekan. “Lo berubah.” gumam cowok tersebut lalu berbalik bersiap masuk ke kelasnya. Begitu cowok itu membalikkan badannya, Aku yang sudah selesai membereskankan buku mulai memasang ancang-ancang. Dengan semangat 45 Aku mulai mengayunkan kaki kananku kearah kaki kiri cowok tersebut dengan keras.
“Adooooww” pekik cowok tersebut sambil menggerang kesakitan.
“Makan tuh sakit!!” ejekku sambil berlari membawa buku-buku yang tadi sempat berserakan. Bisa dibayangkan gimana sakitnya tuh kaki. Secara Aku pakek kekuatan yang super duper keras. Senyum kemenangan menghiasi di wajah cewek tinggi kurus tersebut.
“Sial! Lari nggak pakek mata apa ya...” rutukku. Dengan wajah masam aku mulai jongkok untuk merapikan buku-buku yang terjatuh. Belum selesai Aku merapikan terdengar langkah kaki yang datang menghampiriku.
“Kasian banget. Bukunya jatuh semua ya?” cemoh seorang cowok dengan senyum sinis. Sejenak Aku berhenti merapikan buku-buku, Aku mencoba melihat orang yang berani mencemohku. Ternyata dia lagi. Cowok berpostur tinggi dengan rambut yang selalu berantakan. Sumpah! Aku benci banget sama cowok ini. Seumur hidupku nggak bakal bersikap baik sama cowok yang ada di depanku ini. Lalu Aku mulai melanjutkan merapikan buku tanpa menjawab pertanyaan cowok tersebut.
Cowok tinggi itu sepintas mengernyitkan alisnya. Dan kembali ia tercenung karena cewek di depannya tidak menanggapi. Biasanya kalau Aku terpancing dengan omongannya, perang mulut pun akan terjadi dan takkan selesai sebelum seseorang datang melerai.
Teeeett… Bel tanda berakhirnya jam istirahat terdengar nyaring. “Maksud hati pengen bantu temen gue yang jelek ini. Tapi apa daya udah keburu bel. Jadi sori nggak bisa bantu.” ucap cowok tersebut sambil menekan kata jelek di pertengahan kalimat.
Cowok tersebut masih menunggu reaksi cewek yang ada di depannya. Tapi yang ditunggu tidak membalas dengan cemohan atau pun ejekan. “Lo berubah.” gumam cowok tersebut lalu berbalik bersiap masuk ke kelasnya. Begitu cowok itu membalikkan badannya, Aku yang sudah selesai membereskankan buku mulai memasang ancang-ancang. Dengan semangat 45 Aku mulai mengayunkan kaki kananku kearah kaki kiri cowok tersebut dengan keras.
“Adooooww” pekik cowok tersebut sambil menggerang kesakitan.
“Makan tuh sakit!!” ejekku sambil berlari membawa buku-buku yang tadi sempat berserakan. Bisa dibayangkan gimana sakitnya tuh kaki. Secara Aku pakek kekuatan yang super duper keras. Senyum kemenangan menghiasi di wajah cewek tinggi kurus tersebut.
***
“Agnes….”
Aku menoleh untuk melihat siapa yang memanggilku. Ternyata dari kejauhan Bella teman baikku sejak kecil sedang berlari kearahku. Dengan santai Aku membalikkan badanku berjalan mencari Bella di keramaian. Masih celingak-celinguk mencari, Bella malah menjitak kepalaku dari belakang.
“Woe Nes, budeg ya? Nggak denger teriakan gue. Temen macem apaan yang nggak nyaut sapaan temennya sendiri.” ucap Bella dengan bibir monyong. Ciri khas cewek tersebut kalo lagi ngambek.
“Sori deh Bel. Gue lagi bad mood, pengen cepet pulang.”
“Bad mood? Jelas-jelas lo tadi bikin gempar satu kelas. Udah nendang kaki cowok ampe tuh cowok permisi pulang, nggak minta maaf lagi.” jelas Bella panjang lebar.
“Hah? Sampe segitunya? Kan gue cuma nendang kakinya, masak segitu parahnya?” Agnes benar-benar nggak nyangka. Masa sih keras banget? Tuh cowok ternyata bener-bener lembek, pikirku dalam hati.
“Nendang sih nendang tapi lo pakek tendangan super duper. Kasian Iqbal lho.”
“Enak aja. Orang dia yang mulai duluan.” bantahku membela diri.
Sejenak Bella terdiam, lalu berlahan bibirnya tersenyum tipis. “Kenapa sih kalian berdua selalu berantem? Masalahnya masih yang itu? Itu kan waktu awal masuk SMP. Dulu banget. ” ujar Bella polos, tanpa bermaksud mengingatkan kejadian yang lalu. “Lagi pula gue udah bisa nerima kalo Iqbal nggak suka sama gue.”
“Tau ah gelap!”
***
Bel pulang berbunyi nyaring bertanda jam pelajaran telah usai. Cuaca yang sedemikian panas tak menyurutkan niat para siswa SMP Negeri 01 Lebong Selatan untuk bergegas pulang ke rumah. Aku sendiri sudah membereskan buku-bukuku. Sedangkan Bella masih berkutat pada buku catatanya lalu sesekali menoleh ke papan tulis.
“Makanya kalo nulis jangan kayak kura-kura.” Dengan gemas Aku menjitak kepala Bella. “Duluan ya, Bel. Disuruh nyokap pulang cepet nih!” Bella hanya mendengus lalu kembali sibuk dengan catatanya.
Saat Aku membuka pintu kelas, seseorang ternyata juga membuka pintu kelasku dari luar. “Eh, sori..” ucapku kikuk. Tapi begitu sadar siapa orang yang ada di depanku, Aku langsung ngasi tampang jutek kepada orang itu. “Ngapaen lo kesini? Masih sakit kakinya? Apa cuma dilebih-lebihin biar kemaren pulang cepet? Hah? Jadi cowok kok banci banget!!!”
Jujur Iqbal udah bosen kayak gini terus sama Aku. Dia pengen hubungannya dengan Aku bisa kembali seperti dulu. “Nggak usah cari gara-gara deh. Gue cuma mau cari Bella.” ucap Iqbal dingin sambil celingak celinguk mencari Bella. “Hey Bel!” ucap Iqbal riang begitu orang yang dicarinya nongol.
“Hey juga. Jadi nih sekarang?” Bella sejenak melirik Agnes. Lalu dilihatnya Iqbal mengangguk bertanda mengiyakan. “Nes, kita duluan ya,” ujar Bella singkat.
Aku hanya benggong lalu dengan cepat mengangguk. Dipandangi Bella dan Iqbal yang kian jauh. Entah kenapa, perasaanku jadi aneh setiap melihat mereka bersama. Seperti ada yang sakit di suatu organ tubuhku. Biasanya Iqbal selalu mencari masalah denganku. Namun kini berbeda. Iqbal tidak menggodaku dengan cemohan atau ejekan khasnya. Iqbal juga tidak menatapku saat ia bicara. Seperti ada yang hilang. Seperti ada yang pergi dari diriku.
***
Byuuurr.. Fanta rasa stowberry menggalir deras dari rambuku hingga menetes ke baju putih biruku. Aku nggak bisa melawan. Aku kini ada di WC perempuan. Apalagi ini jam terakhir. Nggak ada yang akan bisa menolongku sampai bel pulang berbunyi.
“Maksud lo apa?” bentakku menantang. Aku nggak terima di guyur kayak gini.
“Belum kapok di guyur kayak gini?” balas cewek tersebut sambil menjambak rambutku. “Vin, mana fanta jeruk yang tadi?” ucap cewek itu lagi, tangan kanannya masih menjambak rambutku. Vina langsung memberi satu botol fanta jeruk yang sudah terbuka.
“Lo mau gue siram lagi?” tanya cewek itu lagi.
Halo??!! Nggak usah ditanya pun, orang bego juga tau. Mana ada orang yang secara sukarela mau berbasah ria dengan fanta stroberry atau pun jeruk? Teriakku dalam hati. Aku tau kalau cewek di depanku ini bernama Pelli. Pelli terkenal sesaentro sekolah karena keganasannya dalam hal melabrak orang. Yeah, dari pada ngelawan terus sekarat masuk rumah sakit, mending Aku diem aja. Aku juga tau kalo Pelli satu kelas dengan Iqbal. Wait, wait.. Iqbal??? Jangan-jangan dia biang keladinya. Awas lo Bal, sampe gue tau lo biang keroknya. Gue bakal ngamuk entar di kelas lo!
“Gue rasa, gue nggak ada masalah ama lo.” teriakku sambil mendorong Pelli dengan sadisnya. Aku benar-benar nggak tahan sama perlakuan mereka. Bodo amat gue masuk rumah sakit. Yang jelas ni nenek lampir perlu dikasi pelajaran.
Kedua teman Pelli, Vina dan Ayu dengan sigap mencoba menahanku. Tapi Aku malah memberontak. “Buruan Pelli, ntar kita ketahuan.” kata Ayu si cewek sawo mateng.
Selang beberapa detik, Pelli kembali mengguyurku dengan fanta jeruk. “Jauhin Iqbal. Gue tau lo berdua temenan dari awal masuk SMP! Dulu lo pernah nolak Iqbal. Tapi kenapa lo sekarang nggak mau ngelepas Iqbal?!!”
“Maksud lo?” ledekku sinis. “Gue nggak kenal kalian semua. Asal lo tau gue nggak ada apa-apa ama Iqbal. Lo nggak liat kerjaan gue ama tuh cowok sinting cuma berantem?”
Plaakk.. Tamparan mulus mendarat di pipiku. “Tapi lo seneng kan?” teriak Pelli tepat disebelah kupingku. Kesabaranku akhirnya sampai di level terbawah.
Buuugg! Tonjokanku mengenai tepat di hidung Pelli. Pelli yang marah makin meledak. Perang dunia pun tak terelakan. Tiga banding satu. Jelas Aku kalah. Tak perlu lama, Aku sudah jatuh terduduk lemas. Rambutku sudah basah dan sakit karena dijambak, pipiku sakit kena tamparan. Kepalaku terasa pening.
“Beraninya cuma keroyokan!” bentak seorang cowok dengan tegas. Serempak trio geng labrak menoleh untuk melihat orang itu, Aku juga ingin, tapi tertutup oleh Pelli. Dari suaranya Aku sudah tau. Tapi Aku nggak tau bener apa salah.
“Pergi lo semua. Sebelum gue laporin.” ujar cowok itu singkat. Samar-samar Aku melihat geng labrak pergi dengan buru-buru. Lalu cowok tadi menghampiriku dan membantuku untuk berdiri. “Lo nggak apa-apa kan, Nes?”
“Nggak apa-apa dari hongkong!?”
***
Hujan rintik-rintik membasahi bumi. Aku dan Iqbal berada di ruang UKS. Aku membaringkan diri di tempat tidur yang tersedia di UKS. Iqbal memegangi sapu tangan dingin yang diletakkan di sekitar pipiku. Aku lemas luar biasa. Kalau Aku masih punya tenaga, Aku nggak bakalan mau tangan Iqbal nyentuh pipiku sendiri. Tapi karena terpaksa. Mau gimana lagi.
“Ntar lo pulang gimana?” tanya Iqbal polos.
“Nggak gimana-mana. Pulang ya pulang.” jawabku jutek. Rasanya Aku makin benci sama yang namanya Iqbal. Gara-gara Iqbal diriku dilabrak hidup-hidup. Tapi kalau Iqbal nggak datang. Mungkin Aku bakal pingsan duluan sebelum ditemukan.
“Tadi itu cewek lo ya?” ucapku dengan wajah jengkel.
“Nggak.”
“Trus kok dia malah ngelabrak gue? Isi nyuruh jauhin lo segala. Emang dia siapa? “ rutukku kesal seribu kesal. Ups! Kok gue ngomong kayak gue nggak mau jauh-jauh ama Iqbal. Aduuuhh…
Iqbal sejenak tersenyum. “Dia tuh cewek yang gue tolak. Jadi dia tau semuanya tentang gue dan termasuk tentang lo” ucap Iqbal sambil menunjukku.
Aku diam. Aku nggak tau harus ngapain setelah Iqbal menunjukku. Padahal cuma nunjuk. “Ntar bisa pulang sendiri kan?” tanya Iqbal.
“Bisalah. Emang lo mau nganter gue pulang?”
“Emang lo kira gue udah lupa sama rumah lo? Jangan kira lo nolak gue terus gue depresi terus lupaen segala sesuatu tentang diri lo. Gue masih paham bener tentang diri lo. Malah perasaan gue masi sama kayak dulu.” jelas Iqbal sejelas-selasnya. Iqbal pikir sekarang udah saatnya ngungkapin unek-uneknya.
“Lo ngomong kayak gitu lagi, gue tonjok jidat lo!” ancamku. Nih orang emang sinting. Gue baru kena musibah yang bikin kepala puyeng, malah dikasi obrolan yang makin puyeng.
“Perasaan gue masih kayak dulu, belum berubah sedikit pun. Asal lo tau, gue selalu cari gara-gara ama lo itu ada maksudnya. Gue nggak pengen kita musuhan, diem-dieman, atau apalah. Pas lo nolak gue, gue nggak terima. Tapi seiring berjalannya waktu, kita dapet sekolah yang sama. Gue coba buat nerima. Tapi nggak tau kenapa lo malah diemin gue. Akhirnya gue kesel, dan tanpa sadar gue malah ngajakin lo berantem.” Sejenak Iqbal menanrik nafas. “Lo mau nggak jadi pacar gue? Apapun jawabannya gue terima.”
Hening sejenak diantara kami berdua. “Kayaknya gue pulang duluan deh.” Ucapku sambil buru-buru mengambil tasku. Inilah kebiasaanku, selalu mengelak selalu menghindar pada realita.Aku bener-bener nggak tau harus ngapaen. Dulu Aku nolak Iqbal karena Bella juga suka Iqbal. Tapi sekarang?
“Besok gue udah nggak sekolah disini. Gue pindah sekolah.” Iqbal berbicara tepat saat Aku sudah berada di ambang pintu UKS.
Aku diam tak sanggup berkata-kata. Kulangkahkan kakiku pergi meninggalkan UKS. Meninggalkan Iqbal yang termenung sendiri.
***
Kelas masih sepi. Hanya ada beberapa murid yang baru datang. Kulirik bangku sebelah. Bella belum datang. Aku sendiri tumben datang pagi. Biasanya aku datang 10 menit sebelum bel, disaat kelas sudah padat akan penduduk. Semalam Aku nggak bisa tidur. Entah kenapa bayangan Iqbal selalu terbesit di benakku. Apa benar Iqbal pindah sekolah? Kenapa harus pindah? Peduli amat Iqbal mau pindah apa nggak, batinku. “Argggg… Kenapa sih gue mikir dia terus?”
“Mikirin Iqbal maksud lo?” ucap Bella tiba-tiba udah ada disampingku. “Nih hadiah dari pangeran lo.” Kulihat Bella mengeluarkan sepucuk surat. Karena penasaran dengan cepat Aku membuka surat tersebut. Isi nya ada gambar pelangi. Terdapat sebuah kertas. Dengan segera kubaca surat tersebut.
Dear Agnes,
Inget ga pertama kali kita kenalan? Pas itu lo nangis
gara-gara di gangguin sama anak cowok. Dalam hati gue ketawa, kok ada sih cewek
cengeng kayak gini? Hehe.. kidding. Lo dulu pernah bilang pengen liat pelangi
tapi ga pernah kesampaian. Semoga lo seneng sama pelangi yang ada di surat ini.
Mungkin gue ga bisa nunjukin pelangi saat ini coz gue harus ikut ortu yang
pindah tugas. Tapi suatu hari nanti gue bakal nunjukin ke lo gimana indahnya
pelangi. Tunggu gue dua tahun lagi. Saat waktu itu tiba, ga ada alasan buat lo
ga mau jadi pacar gue.
“Kenapa lo nggak mau nerima dia? Gue tau lo suka Iqbal tapi lo nggak mau nyakitin gue.” sejenak Bella tersenyum. “Percaya deh, sekarang gue udah nggak ada rasa sama Iqbal. Dia cuma temen kecil gue dan nggak akan lebih.”
“Thanks Bel. Lo emang sahabat terbaik gue.” ucapku tulus. “Tapi gue tetap pada prinsip gue.”
Bella terlihat menerawang. “Jujur, waktu gue tau Iqbal suka sama lo dan cuma nganggep gue sebagai temen kecilnya. Gue pengen teriak sama semua orang, kenapa dunia nggak adil sama gue. Tapi seiring berjalannya waktu gue sadar kalo nggak semua yang kita inginkan adalah yang terbaik untuk kita.” senyum kembali menghiasi wajah mungilnya. “Dan lo harus janji sama gue kalo lo bakal jujur tentang persaan lo sama Iqbal. Janji?” lanjut Bella sambil mengangkat jari kelingkingnya.
Ingin rasanya Aku menolak. Bella terlalu baik bagiku. Aku sendiri tau sampai saat ini Bella belum sepenuhnya melupakan Iqbal. Tapi Aku juga tak ingin mengecewakan Bella. Berlahan kuangkat jari kelingkingku.
“Janji..” gumamku lirih.